Maret 31, 2012
Syaikh Dr. Abdul Mun’im an-Nimr dalam
salah satu risalahnya bercerita tentang teman beliau yang seorang guru
besar sastra Persi. Sang guru besar bertutur pada beliau,”Saya
berkunjung ke Teheran saya siapkan makalahku tentang sastra Persia.
Selama saya di sana saya menyempatkan waktu untuk mencari informasi
tentang nikah mut’ah, bukan untuk bermut’ah tapi saya ingin menyelidiki.
Setelah saya bertanya tentang tempat-tempat mut’ah, maka saya pun
menuju ke salah satu tempat tersebut.
Sesampai di sana, seorang syaikh
menyambutku dengan ucapan selamat datang. ”Saya ingin bermut’ah” kataku
membuka pembicaraan. ”Kalau ia cantik dan menarik saya ingin mut’ah
dalam waktu yang lama” kataku melanjutkan.
Maka saya oleh syaikh tersebut
dipersilahkan masuk ke salah satu ruangan. Lalu laki-laki paru baya
tersebut memerintahkan kepada beberapa orang perempuan melintas di
depanku dengan memperlihatkan seluruh kecantikannya untuk saya pilih.
Karena hanya ingin menyelidik, sayapun lalu minta maaf dengan ramah
karena tak satu pun yang menarik hatiku.
Saya lalu pergi ke tempat lain guna melanjutkan penyelidikan di salah
satu kafe. Kali ini saya melangkah lebih jauh. Setelah saya memilih
satu wanita, kami lalu duduk bersama.
Wanita itu lalu bertanya padaku tentang
lama waktu mut’ah yang saya inginkan sebab setiap jam beda upahnya.
Wanita itu juga bertanya tentang tempat yang saya inginkan untuk
’berbulan madu’ apakah di penginapanku atau di rumahnya. ”Upahnya
berbeda-beda sesuai fasilitas yang ada di tempat yang telah disepakati”
kata wanita itu. Saya berpura-pura tidak setuju dan marah-marah, lalu
pergi sambil minta maaf kepada pemilik kafe.
Sebelum pergi, saya menyempatkan diri pada pemilik kafe tentang
tanggapan penduduk sekitar tantang keberadaan kafe-kafe yang memiliki
’pelayanan plus’. Pemilik kafe dengan berterus terang mengatakan bahwa
penduduk merasa terusik dengan keberadaan tempat tersebut.
Di lain waktu (juga dalam rangka
penyelidikan) saya pernah bercanda pada salah seorang kerabatku
keturunan persia di Teheran. Saya memintanya untuk menikahkan putrinya
denganku secara mut’ah. Kerabatku itu marah besar dan memutus tali
silaturrahimya denganku”.
Demikian tutur Dr Abdul Mun’im an-Namr salah seorang akademisi yang banyak menulis masalah -masalah syi’ah.
Mut’ah dan AIDS
Empat tahun terakhir di Irak, sejak AS
menginvasi negeri 1001 malam itu, terjadi peningkatan tajam penderita
AIDS, yang paling parah dibanding masa-masa sebelumnya.
Tahun 2003, jumlah penderita positif HIV
mencapai 265 orang dan sebagian besar meninggal dunia. Dalam penelitian
disimpulkan, 80 orang dari jumlah tersebut, tertular virus HIV melalui
transfusi darah yang diperoleh dari luar Irak sebelum tahun 1986. Tapi
pada tahun-tahun belakangan ini, penyebaran virus HIV mengalami
perubahan di Irak.
Melalui sejumlah penelitian, diperoleh
kesimpulan bahwa virus HIV di Irak menyebar melalui hubungan dengan
lawan jenis secara intensif, melebihi apa yang biasa dilakukan seorang
pelacur.
Sebuah lembaga penelitian Irak yang
khusus memantau perkembangan penyakit seksual di antara warga Irak di
kota Nejef, Karbala, Wasith, Qadisiya, Maisan, Dzi Qar, Bashra, Matsana,
dan Baghdad, baru baru ini mengeluarkan sejumlah hasil penelitiannya.
Mereka menemukan beberapa tahun terakhir terjadi trend pernikahan mut’ah
di banyak keluarga Irak yang berada di bawah garis kemiskinan.
Kaum wanita yang menjadi pelaku nikah
mut’ah inilah yang menurut penelitian, menjadi salah satu sarana
perpindahan virus HIV ke manusia lain. Sementara si wanita tidak sadar
bila dirinya membawa virus HIV.
Satu dari dua penderita AIDS di Irak
adalah pelaku nikah mut’ah. Menurut perkiraan dokter, di sejumlah
distrik yang dihuni mayoritas oleh kaum Syiah, terjadi kasus penderita
penyakit AIDS lebih dari 75 ribu kasus per tahunnya. Kajian yang
dilakukan juga memunculkan kesimpulan adanya sejumlah besar para
penderita AIDS yang belum merujuk ke dokter karena alasan sosial.
Jumlah penderita AIDS di Irak merupakan
jumlah yang paling besar dari berbagai negara Eropa dan Arab, setelah
Iran. Dan pernikahan mut’ah menjadi sebab utama yang paling banyak
menularkan virus HIV melalui hubungan seksual.
Sejak tumbangnya pemerintahan Irak
pimpinan Saddam Husein tahun 2003, secara tidak resmi terjadi arus
pernikahan mut’ah yang luar biasa di Irak. Nikah mut’ah di Irak bahkan
dilakukan dalam tempo sangat singkat, yakni satu kali hubungan badan
lalu berpisah. Karena itulah sebagian kaum pria dan wanita terlibat
hubungan seksual melalui pernikahan mut’ah beberapa kali, bahkan dalam
satu hari.
Dan kini, menurut Kementerian Kesehatan
Irak, selama tiga tahun terakhir, terjadi 64.428 kasus penderita AIDS di
Irak. Para tokoh agama dan pejabat pemerintah saat ini melakukan upaya
intensif untuk menekan trend nikah mut’ah yang menjadi indikator
hilangnya pertimbangan logika, kesehatan, etika dan moralitas warga
Irak.
Para pembaca budiman, inilah fakta nyata
jika kemaksiatan yang bernama zina dilegalkan atas alasan apapun,
termasuk dengan mengemasnya dengan nama ‘nikah mut’ah
(Al Fikrah)
Nikah mut’ah dalam ajaran syi’ah adalah
nikah kontrak dalam waktu tertentu. Beberapa tahun, bulan, minggu atau
bahkan beberapa jam saja. Terserah pada kesepakatan calon ‘mempelai’.
Nikah mut’ah ini tidak ada bedanya dengan zina selain karena adanya
kontrak waktu, juga tidak disyaratkan adanya saksi dan wali.
Mut’ah memiliki keistimewaan yang besar
di dalam aqidah Syi’ah Rafidhah, dikatakan dalam buku “Manhajus
Shadiqin” yang ditulis oleh Fathullah Al Kasyani, dari Ash Shadiq
bahwasanya mut’ah adalah bagian dari agamaku, dan agama nenek moyangku,
dan barang siapa yang mengamalkannya berarti ia mengamalkan agama kami,
dan barang siapa yang mengingkarinya berarti ia mengingkari agama kami,
bahkan ia bisa dianggap beragama dengan selain agama kami, dan anak yang
dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah lebih utama dari pada anak yang
dilahirkan di luar nikah mut’ah, dan orang yang mengingkari nikah
mut’ah ia kafir dan murtad.
Dinukil oleh Al-Qummy dalam bukunya “Maa
laa Yudhrikuhul Faqih, dari Abdillah bin Sinan dari Abi Abdillah ia
berkata “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala mengharamkan atas
orang-orang syi’ah segala minuman yang memabukkan, dan menggantikan bagi
mereka dengan mut’ah.”
Syi’ah Rafidhah tidak membatasi jumlah
tertentu dalam mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi”,
Ath-Thahdib, dan Al-Istibshar, dari Zurarah dari Abi Abdillah ia
berkata, “Saya bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang dimut’ah,
apakah hanya empat wanita? ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari
wanita, meskipun itu 1000 (seribu) wanita, karena mereka (wanita-wanita
ini) dikontrak.”
Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di
situ saja, bahkan mereka memperbolehkan mendatangi wanita (istri) dari
duburnya (menyetubuhi istri dari jalan belakangnya).
Disebutkan dalam buku Al-Istibshar yang
diriwayatkan dari Ali bin Al-Hakam, ia berkata, “Saya pernah mendengar
Shafwan berkata” saya berkata kepada Ar-Ridha, “Seorang budak
memperintah saya untuk bertanya kepadamu tentang suatu masalah yang mana
ia malu menanyakan langsung kepadamu”, maka ia berkata, “Apa masalah
itu?”, ia menjawab, “Bolehkah seorang laki-laki menyetubuhi istrinya
dari duburnya”, maka ia menjawab, “Ya, boleh baginya”.
Bagaimana kita bisa menerima dan membenarkan nikah seperti ini, sementara Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela, barang siapa yang mencari dibalik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS.Al-Mu’minun : 5-7).
Sumber: AL Balagh.